Rokan Hilir-Pementasan teaterikal puisi “Putri Ambang Buana di Sungai Rokan” karya Atuk Aal Rahim Sekha menjadi salah satu peristiwa seni yang menarik perhatian pada malam puncak Hari Jadi Kecamatan Tanah Putih Tanjung Melawan ke-23. Pementasan ini bukan sekadar pertunjukan biasa, melainkan wujud dari kreativitas generasi muda yang mencoba menafsirkan kembali kisah legenda Sungai Rokan melalui bahasa seni pertunjukan modern.

Yang patut diapresiasi, pementasan ini dimainkan oleh siswa-siswi SMA Negeri 1 Tanah Putih Tanjung Melawan, dengan arahan kreatif dari tim Madah Tuah Negeri (MTN). Mereka tidak hanya menampilkan drama panggung konvensional, tetapi berani melakukan alih wahana dari bentuk puisi menjadi teaterikal yang berpadu dengan teknologi video. Adegan penculikan Ambang Buana, misalnya, divisualisasikan melalui tayangan di layar backdrop. Hal ini memberi kesan sinematik yang segar dan kreatif bagi penonton.
Heru, selaku tim kreatif, berhasil menerjemahkan gagasan puitik ke bentuk visual yang kuat. Pemilihan Aufa sebagai pemeran Ambang Buana juga terasa tepat; ia mampu menghadirkan sosok putri misterius yang lembut namun penuh pesan moral. Agung Kurnia, ketua MTN, secara terbuka memberikan pujian terhadap kerja keras Heru dan timnya — sebuah bentuk dukungan nyata bagi semangat berkarya generasi muda di daerah.

Dari sisi artistik, penggunaan lampu biru remang oleh Suhandar menjadi langkah cerdas. Walau terkesan sederhana, pencahayaan ini justru memperkuat nuansa malam purnama, sesuai dengan konteks cerita. Namun demikian, ada catatan kecil yang dapat menjadi bahan evaluasi, yakni penguatan unsur musik latar agar suasana misterius kehadiran Ambang Buana dapat lebih hidup dan menggugah.
Kehadiran langsung penulis naskah, Aal Rahim Sekha, seminggu sebelum pementasan menjadi nilai tambah. Ia memberi arahan langsung kepada para pemeran, termasuk Kheyla (Bayang Sari) dan Zelly (Intan Delima), agar mampu menyelami karakter masing-masing secara lebih dalam. Hasilnya tampak nyata — Zelly dengan vokalnya yang lembut berhasil menampilkan sosok Intan Delima yang bijak dan berwibawa.

Lebih dari sekadar hiburan, pementasan ini membawa pesan ekologis dan moral: pentingnya menjaga kebersihan sungai dan kelestarian alam. Dalam akhir cerita, Ambang Buana meninggalkan selendangnya di sungai sebagai simbol harapan dan amanah agar masyarakat sadar menjaga lingkungan air yang menjadi nadi kehidupan.
Komunitas Seni Budaya Madah Tuah Negeri patut mendapat apresiasi atas perannya menjadi wadah lahirnya karya dan bakat muda di daerah. Pementasan “Putri Ambang Buana di Sungai Rokan” bukan hanya memperkaya khazanah seni Melayu di Rokan Hilir, tetapi juga membuktikan bahwa tradisi dan modernitas dapat berpadu harmonis dalam satu panggung.
Seni bukan sekadar pertunjukan — ia adalah cermin dari jiwa masyarakatnya. Dan melalui karya ini, para siswa telah menunjukkan bahwa Tanah Putih Tanjung Melawan bukan hanya kaya sejarah, tapi juga kaya semangat untuk terus berkarya dalam pusaran budaya dan waktu


