Oleh: tim kobka.times.com(Rubrik: Budaya & Warisan Melayu)
Di tepian Sungai Rokan yang berliku dan berhulu jauh di tanah beradat,

berdiri Tanah Putih Tanjung Melawan, negeri tua yang sarat kisah, tempat adat dan budi bersenyawa dalam kehidupan.
Di sinilah dahulu Kerajaan Siak Sri Indrapura menanam kekuasaan dan mewariskan empat penjaga marwah negeri — para Datuk Pucuk Suku.

Empat Tiang Adat Melayu
Empat Datuk ini bukan sekadar nama dalam sejarah, melainkan fondasi marwah dan keseimbangan negeri.
Datuk Melayu Besar (Datuk Setia Maharaja)
Pemimpin adat utama, penjaga kehormatan dan keamanan masyarakat Melayu.

Datuk Melayu Tengah (Datuk Lela Muda Diraja)Penasihat kerajaan, penuntun harmoni antara rakyat dan hukum adat.
Datuk Mesah (Datuk Paduka Diraja)Pengatur urusan pemerintahan lokal dan pelaksana hukum adat di wilayahnya.
Datuk Batu Hampar (Datuk Sura Diraja)Penjaga kesucian adat dan pelaksana utama upacara serta ritual budaya.
Dari keempat tiang ini, berdirilah rumah besar bernama Melayu Tanah Putih,
tempat di mana adat dijunjung tinggi, dan budi menjadi pakaian diri.
Madah Tuah Negeri: Api Muda yang Menyala Ratusan tahun kemudian, gema adat itu menitis pada jiwa generasi baru.
Mereka menamakan diri Komunitas Seni Budaya Madah Tuah Negeri (MTN) — sekumpulan pemuda yang percaya bahwa seni adalah wasiat peradaban.
Dibentuk oleh Arie Libeh, Rais, Bambang, Mawar, dan Rafi, komunitas ini berawal dari gelanggang teater. Mereka pernah menoreh langkah di Pekanbaru, mewakili Rokan Hilir dalam kegiatan Jaringan Teater Riau (JTR).
Namun sepulangnya, api yang mereka bawa tidak padam.Mereka terus menyalakan cahaya seni di kampung halaman sendiri — Tanah Putih Tanjung Melawan.
Sungai Sebagai Puisi
Dengan dukungan budayawan Arby Tanjung dari Bonjol, Sumatera Barat, dan penyair Rohil Bunda Swanti, MTN melahirkan gerakan literasi “Sungai Sebagai Puisi”.
Selama dua bulan penuh, pelajar dari tingkat SD hingga SMA diajak menyusuri tepian Sungai Rokan dan menulis tentang kehidupan, air, dan harapan.
“Sungai kami bukan sekadar air,tapi ingatan yang mengalir,”tulis seorang siswa dalam puisinya yang menggugah Pada 16 Agustus 2025, ratusan karya itu diluncurkan dalam sebuah pementasan dan lomba baca puisi.
Air mata dan tepuk tangan mengalun bersamaan — tanda bahwa roh sastra Melayu belum mati, dan semangat muda belum surut.
Beidau Melopeh Lungun, Sambil Belimbuk
Dari keberhasilan gerakan literasi itu, Madah Tuah Negeri menggelar helat budaya besar:
prosesi “Beidau Melopeh Lungun, Sambil Belimbuk.”
Prosesi ini menjadi peristiwa langka dan sakral, di mana empat Datuk Pucuk Suku Tanah Putih Tanjung Melawan diundang dan diarak menuju Laman Berkarya Madah Tuah Negeri.
Ketua MTN menyorongkan tepak sirih dan balai nasi kunyit — simbol kesopanan dan permohonan restu.
Ulama memimpin doa, tepak sirih diserahkan satu per satu kepada para datuk.
Balai nasi kunyit pun didoakan untuk keberkahan bersama.
Suasana haru membalut seluruh hadirin — seolah adat lama bangkit dari tidur panjangnya,
disapa oleh tangan-tangan muda yang lembut dan penuh hormat.
“Adat takkan hilang di bumi,selagi ada anak muda yang mau menunduk pada sejarah,”
ujar seorang Datuk dalam petuahnya yang menggema hingga malam.Kiprah Pelajar: Dari Sekolah ke Panggung Budaya
Dalam helat besar ini, para siswa SMA Negeri 1 Tanah Putih Tanjung Melawan atas izin Kepala Sekolah merekamengambil peran penting.
Mereka menjadi panitia inti dan tim teater utama dalam pementasan “Puteri Ambang Buana di Sungai Rokan”, karya teaterikal puisi yang menjadi penutup prosesi adat.
Di bawah bimbingan Madah Tuah Negeri, para siswa menunjukkan kemampuan luar biasa — memadukan lakon, syair, dan gerak yang memukau penonton.
Langkah mereka ringan, tapi maknanya berat: menyambung generasi seni Tanah Putih yang mulai tumbuh kembali.
Tak berhenti di situ, siswa-siswi SMP Negeri 1 Tanah Putih Tanjung Melawan pun ikut menunjukkan bakatnya.Kepala sekolah dan guru mereka mendukung hal ini.
Mereka tampil dalam pementasan seni tari tradisi dan teater bangsawan “Laksemana Mengamok”, karya klasik Almarhum SPN.H. Sudarno Mahyudin,
yang juga menjadi guru dan peletak dasar seni teater di Rokan Hilir.
Pementasan itu menjadi penghormatan kepada almarhum, sekaligus bentuk nyata bagaimana seni bangsawan Melayu diwariskan kepada generasi muda.
Panggung malam itu hidup dengan irama rebana dan serunai,
dan di tengah cahaya lampu yang temaram, tampak wajah-wajah muda yang penuh keyakinan:
bahwa seni bukan hanya hiburan — tetapi tanggung jawab terhadap budaya sendiri.
Puteri Ambang Buana: teaterikal puisi tentang Sungai dalam Puisi
Puncak acara ditutup dengan pertunjukan Teaterikal Puisi “Puteri Ambang Buana di Sungai Rokan”,
mengisahkan tentang puteri yang hilang dalam ombak bono, simbol tentang kehilangan dan pencarian jati diri.
Gerak tubuh para pelakon berpadu dengan alunan musik Melayu yang sendu.
Puisi dilantunkan seperti doa, dan doa itu menggema hingga jauh ke tepian Sungai Rokan.
Penonton berdiri memberi hormat — bukan sekadar untuk lakon yang indah,
tapi untuk semangat muda yang berani menanggung beban adat dan marwah budaya.
Penutup: Sungai, Adat, dan Nyala Jiwa
“Selagi sungai masih mengalir,
selagi pantun masih diucap,
maka adat tak akan hilang,
dan Melayu tak akan tenggelam.”
Demikianlah, dari sungai ke panggung, dari teater ke prosesi adat,
Madah Tuah Negeri bersama para pelajar SMA dan SMP Tanah Putih Tanjung Melawan
telah menunjukkan bahwa adat bukan benda mati, tapi denyut yang harus dijaga dengan cinta dan kesetiaan.
Dan di bawah langit Sungai Rokan yang lembut,
nyala itu kini kembali bersinar —
nyala seni, nyala adat, dan nyala jiwa Melayu.
(Kobka Times)


