Tentang Penulis: Susilawati adalah Kepala Sekolah SMP IT Khazanah, Mahasiswa Magister Pedagogi Universitas lancang Kuning. Aktif dalam pembinaan guru dan pengembangan budaya sekolah berbasis nilai-nilai Islam. Tulisan ini dibuat sebagai refleksi kepemimpinan dan disusun di bawah bimbingan Dr. Shelvie Famella, S.Pd., M.Pd., dosen dan pemerhati manajemen pendidikan Universitas Lancang Kuning.
Sekolah adalah rumah besar tempat berbagai karakter bertemu dan bekerja bersama. Di dalamnya ada guru dengan gaya kerja berbeda, staf dengan latar belakang beragam, dan siswa dengan keunikan masing-masing. Semua punya niat baik untuk berkontribusi, tapi cara mereka melakukannya sering kali tidak sama. Dari sinilah, kadang muncul yang disebut konflik, sesuatu yang wajar dalam kehidupan organisasi.
Sebagai kepala sekolah di SMP IT Khazanah, saya belajar bahwa konflik tidak selalu buruk. Stephen P. Robbins dalam bukunya Organizational Behavior menyebut bahwa konflik adalah bagian alami dari organisasi yang justru bisa menjadi alat pertumbuhan, selama dikelola dengan baik. Saya meyakini hal itu.
Dalam memimpin sekolah, saya tidak hanya berhadapan dengan kurikulum dan administrasi, tetapi juga dengan dinamika manusia. Di antara guru yang berdedikasi tinggi, pasti ada pula yang sedang berjuang menjaga semangatnya. Di sinilah seni kepemimpinan diuji, bagaimana menjaga keseimbangan antara ketegasan dan kasih sayang.
Konflik yang Tidak Terlihat, tapi Terasa
Konflik di sekolah kami tidak selalu muncul karena perbedaan pandangan akademik, melainkan hal-hal yang lebih halus: kedisiplinan, keadilan, dan rasa tanggung jawab. Ada guru yang sangat disiplin datang pagi, rajin menyiapkan perangkat pembelajaran, dan aktif dalam setiap kegiatan. Namun ada juga yang kadang datang terlambat, belum tuntas dalam laporan, atau kurang maksimal saat ada acara sekolah.
Perbedaan itu sering menimbulkan rasa tidak nyaman. Guru yang bekerja penuh tenaga bisa merasa kurang dihargai ketika melihat rekan lain bersikap santai. Di sisi lain, guru yang sedang kewalahan bisa merasa dibanding-bandingkan. Konflik semacam ini tidak selalu diucapkan, tapi terasa di udara, halus, namun berpotensi mengganggu suasana kerja.
Sebagai kepala sekolah, saya berusaha peka terhadap tanda-tanda semacam itu. Saya tidak ingin rasa lelah dan kesal yang kecil berubah menjadi jurang komunikasi. Biasanya, saya mulai dengan langkah sederhana: berbicara dari hati ke hati. Bukan untuk menghakimi, melainkan mendengar dan memahami. Saya selalu katakan, “Tidak semua orang berjalan dengan kecepatan yang sama, tapi tujuan kita tetap satu, memberi yang terbaik untuk anak-anak.”
Dalam sebuah artikel di Educational Leadership Journal, dijelaskan bahwa salah satu penyebab utama konflik di sekolah adalah persepsi ketidakadilan beban kerja. Karena itu, saya berusaha adil dalam pembagian tugas dan memberikan apresiasi untuk setiap kontribusi, sekecil apa pun bentuknya. Saya ingin setiap guru merasa dilihat dan dihargai.
Tentu tidak semua berjalan mulus. Ada kalanya saya harus menenangkan guru yang merasa terlalu banyak bekerja dibanding rekan lain. Ada pula saat di mana saya perlu menegur dengan lembut mereka yang mulai kehilangan semangat. Semua itu saya lakukan dengan prinsip: memperbaiki tanpa mempermalukan.
Saya percaya, konflik jenis ini adalah ujian kesabaran bagi pemimpin. Bukan tentang seberapa cepat menyelesaikan masalah, tapi seberapa dalam memahami hati orang yang sedang terluka.
Membangun Budaya Saling Menguatkan
Saya yakin, suasana kerja yang harmonis tidak bisa dibentuk dengan aturan saja, tapi dengan budaya. Karena itu, di SMP IT Khazanah kami berusaha menumbuhkan budaya saling menghargai. Setiap pekan, kami mengadakan pertemuan santai untuk refleksi dan berbagi pengalaman. Forum ini tidak formal, tapi sangat berarti. Guru bisa berbicara jujur tentang apa yang mereka rasakan, tanpa takut dihakimi.
Dalam Jurnal Manajemen Pendidikan Islam disebutkan bahwa komunikasi informal yang positif dapat mencegah konflik berkembang menjadi ketegangan. Saya melihat hal itu benar adanya. Dari perbincangan sederhana di ruang guru, sering muncul kehangatan baru. Guru muda belajar dari guru senior, dan guru senior menemukan semangat baru dari yang muda.
Saya selalu menanamkan prinsip sederhana: “Kita tidak harus sempurna, tapi harus saling melengkapi.” Ketika ada guru yang kuat di satu bidang, ia membantu yang lain. Yang lebih disiplin memberi contoh tanpa menghakimi. Yang masih belajar diberi ruang untuk berkembang tanpa merasa tertinggal. Budaya seperti ini membuat suasana kerja lebih tenang. Tanggung jawab terasa sebagai amanah, bukan beban. Dan setiap kali ada acara sekolah, semangat kebersamaan terasa nyata.
Kepemimpinan yang Menyejukkan
Dalam memimpin, saya berusaha menerapkan prinsip servant leadership seperti dijelaskan oleh Glickman dalam bukunya Educational Leadership for Social Justice — pemimpin bukan untuk menguasai, tapi untuk melayani. Saya percaya, kepala sekolah bukan pusat kekuasaan, melainkan pusat keseimbangan. Setiap kali ada perbedaan atau gesekan, saya mencoba tidak langsung bereaksi. Saya lebih dulu mendengarkan. Kadang, orang yang tampak marah hanya butuh ruang untuk didengar. Setelah emosi reda, jalan keluar lebih mudah ditemukan.
Saya juga berusaha menjaga ketenangan dalam mengambil keputusan. Karena saya tahu, suasana hati pemimpin bisa menular ke seluruh tim. Jika kepala sekolah tenang, guru ikut tenang. Tapi jika pemimpin reaktif, suasana sekolah bisa ikut panas.
Spirit Islam dalam Mengelola Perbedaan
Sebagai sekolah Islam terpadu, kami menjadikan nilai-nilai Qur’ani sebagai dasar dalam mengelola konflik. Saya sering mengingatkan diri sendiri dan rekan-rekan guru akan pesan dalam QS. Al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu.”
Setiap kali muncul perbedaan, kami berusaha memulainya dengan niat yang benar. Tidak ada masalah yang terlalu besar jika diselesaikan dengan hati yang ikhlas. Kami percaya bahwa tugas ini bukan sekadar pekerjaan, tetapi bagian dari ibadah.
Saya juga belajar, terkadang penyelesaian terbaik bukan dari strategi manajemen, melainkan dari kelembutan hati. Sebuah senyum, ucapan terima kasih, atau doa yang tulus untuk rekan kerja bisa lebih menenangkan daripada teguran keras.
Konflik Sebagai Jalan Menuju Kedewasaan
Dari semua pengalaman itu, saya belajar bahwa konflik adalah cermin bagi organisasi. Ia menunjukkan di mana kita perlu memperbaiki diri. Dalam Journal of Human Behavior in Education disebutkan bahwa organisasi yang matang bukan yang bebas konflik, melainkan yang mampu belajar dari setiap perbedaan.
Di SMP IT Khazanah, setiap konflik kecil menjadi pelajaran besar. Kami belajar bahwa disiplin bukan hanya soal aturan, tapi juga keteladanan. Kami memahami bahwa rasa lelah bisa diatasi dengan saling dukung, bukan saling menyalahkan. Dan kami semakin yakin bahwa harmoni bukan berarti semua sama, tapi saling menguatkan di tengah perbedaan.
Kini, suasana sekolah terasa lebih tenang dan dewasa. Guru tidak lagi cepat tersinggung, tetapi belajar memahami bahwa setiap orang punya perjuangan masing-masing. Kami berjalan bersama, dengan langkah yang mungkin tidak serempak, tapi menuju arah yang sama , keberkahan dalam mendidik.
Penutup
Menjadi kepala sekolah membuat saya memahami bahwa memimpin bukan tentang mengatur orang, tetapi mengelola hati. Konflik, sekecil apa pun, adalah kesempatan untuk memperbaiki komunikasi dan menumbuhkan empati. Saya tidak pernah berharap sekolah saya bebas konflik. Justru, saya ingin setiap perbedaan menjadi pintu untuk saling mengenal dan memperbaiki diri. Karena saya percaya, sekolah yang mampu mengelola konflik dengan adab dan kasih sayang akan tumbuh menjadi lembaga yang kuat, damai, dan penuh keberkahan.
Bagi kami di SMP IT Khazanah, harmoni bukan berarti semua berjalan sama. Harmoni adalah ketika semua bekerja dengan hati , saling memahami, saling menguatkan, dan bersama-sama menanamkan nilai kebaikan untuk masa depan anak-anak bangsa.


