Hikmah Puasa Hari Ke 27 : Puncak Kesadaran Manusia . 

Oleh : Dr. Supardi, SH., MH., Als. Rd Mahmud Sirnadirasa ( Kajati Riau)

 

وَال صلََةَ وََال سلََ مَ عَََلَى محَ م دَ وََاٰلِهَِ مََعََ اَلت سْلِيْمَِ وََبِهَِ نََسْتَعِيْ نَ فَِى تََحْصِيْلَِ اَلْعِنَايَةَِ اَلْعَآ مةَِ وََالْهِدَايَةَِ اَلت آ مةَِ، آَمِيْنََ يََا رََ بَ اَلْعَالَمِيْنََ

 

Bismillâhirrahmânirrahîm Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

 

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“. Saudaraku yang dirahmati Allah SWT. Ilmu secara bahasa berasal dari Bahasa Arab, al-‘Ilmu. Kata kerja dari al-‘Ilmu adalah ‘alima – ya’lamu yang artinya mengetahui, menjadi sadar, mengenali atau menemukan. Lawan kata dari ilmu adalah bodoh (al-jahl). Sedangkan secara istilah, menurut para ulama Islam ilmu adalah:

 

إِ نَ اََلْعِلْمََ أَََوْضَ حَ مََِنَْ أَََنَْ يَََعْرِفَ، وَََالَذِيَْ يَََعْنِيْنَا هوََ اََلْعِلْ مَ اََل شرْعِ يِ، وَََالْ مرَا دَ بََِهِ: عَََلِمََ مَََا أَََنْزَلََََ

 

اللَّٰ عَََلَى رَََ سوْلِهَِ مََِنََ اََلْبَي نَاتَِ وَََالْ هدَى، فَََالْعِلْ مَ اََل ذِيَْ فَََِيْهَِ اََلث نَا ءَ وَََالْمَدْ حَ هوََ عََِلْ مَ اََلْوَحْيِ، عََِلْ مَ مَََاََ

 

أَنْزَلََ اَللَّٰ فََقَطَْ.

 

“Sesungguhnya ilmu lebih jelas daripada pengetahuan, dan yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i, yaitu mengetahui apa-apa yang diturunkan oleh Allah kepada Utusan-Nya mengenai fakta-fakta dan petunjuk-petunjuk. Maka ilmu yang berisi tentang pepujian adalah ilmu tentang wahyu, yakni mengetahui tentang apa-apa yang diturunkan oleh Allah saja”.

 

Secara spesifik, Imam Syafi’ie mengungkapkan bahwa

 

: اَلْعِلْ مَ نَ وْ ر،َ وََن وْ رَ اَللَِّٰ لَََي هْدَى لَِلْعَاصِيَْ

 

“Ilmu adalah cahaya Allah, dan cahaya Allah tidak akan dianugerahkan kepada ahli maksiat”. Dalam perspektif tauhid, Ilmu adalah salah satu sifat dari dua puluh sifat wajib bagi Allah SWT. Ada dua sifat Allah yang saling berkaitan satu sama lain, yakni ‘ilmun (ilmu) dan ‘alîmun (Maha Mengetahui).

 

Jadi, sifat ‘Ilmun dengan ‘Alîmun sama dengan sifat Irãdatun dengan Murîdun. ‘Ilmun dan Irãdatun adalah sifat wajib bagi Allah SWT yang dikategorikan sebagai sifat Ma’ani. Sifat Ma’ani adalah sifat yang berhubungan dengan perbuatan dan kehendak Allah SWT (Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, dan Kalam). Sedangkan yang berkaitan dengan sifat Ma’ani adalah sifat Ma’nawiyyah. Diantara sifat-sifat Allah SWT yang kategorikan sebagai sifat Ma’nawiyyah adalah Qadiran, Muridan, Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiran, dan Mutakalliman.

 

Jika kita beberkan definisi ilmu menurut para filosof, sungguh sangat beraneka macam. Namun setidaknya, kita bisa kerucutkan bahwa ilmu adalah kebenaran hakiki yang dimunculkan melalui pembuktian-pembuktian ilmiah. Kata kuncinya adalah “Kebenaran”.

 

Dalam pandangan Islam, kebenaran adalah Haq, adalah Tuhan. Seseorang yang memahami kebenaran, sebenarnya sudah melakukan suatu proses untuk mengenal Tuhan.

 

الْحَ قَ مَِنَْ رََب كََ فَََۖلَََ تََ كونَ نَ مَِنََ اَلْ ممْتَرِينََ ۞ََ

 

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 147)ََ

 

Sedari kecil hingga dewasanya, manusia belajar dan diajarkan tentang kebenaran, dari yang paling mudah dan sederhana hingga yang paling sulit dan rumit.

 

Agama Islam mengajarkan bahwa manusia diperintahkan untuk menuntut ilmu dari buaian ibu sampai ke liang lahat.

 

ا طْل ب وا اَلْعِلْمََ مَِنََ اَلْمَهْدَِ اَِلَى اَلل حْدَِ

 

“Hendaklah kalian mencari ilmu dari buaian ibu hingga ke liang lahad”

 

Dalam spektrum perjalanan hidup manusia, menuntut ilmu bermakna meniti perjalanan menuju Allah. Karena yang dituju itu adalah Allah SWT, maka seluruh tata cara, fasilitas-fasillitas dan metode-metodenya harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Allah SWT.

 

Sandaran perjalanannya adalah Allah SWT. Bersandar kepada Allah dalam perjalanan menuju Allah adalah sebuah kesempurnaan proses. Allah itu ash-Shamad (yang Maha Sempurna dan bergantung kepada-Nya segala sesuatu).

 

Tiada satu makhlukpun termasuk manusia yang mampu menyamai kesempurnaan-Nya. Ilmu sebagai sifat Allah SWT adalah sebuah kesempurnaan akan kebenaran sejati.

 

Kesempurnaannya itu juga bersifat rinci, detil, dan tak ada setitikpun yang luput dari Ilmu-Nya. Keluasannya juga tak bertepi, meliputi segala macam keanekaragaman ciptaan di dunia dan di akhirat.

 

ق لَْ لَََوَْ كَََانََ اََلْبَحْ رَ مََِدَادًا لََِكَلِمَاتَِ رَََب ي لَََنَفِدََ اََلْبَحْ رَ قَََبْلََ أَََنَْ تَََنْفَدََ كَََلِمَا تَ رَََب ي وَََلَوَْ جََِئْنَا بََِمِثْلِهَِ مَََدَدًاَ

 

۞

 

Qul law kãnal bahru midãdal likalimãti rabbî lanafidal bahru qabla an tanfada kalimãtu rabbî walau ji’nã bimitslihî madadã “Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al-Kahfi [18]: 109)

 

Kemudian Allah SWT menganugerahkan sedikit dari nur ilmu-Nya kepada manusia, wamã ûtîtum minal ’ilmi illã qalîlã (“tidaklah Aku berikan ilmu kepada kalian kecuali hanyalah sedikit”). Sehingga pengetahuan dan ilmu yang dimiliki oleh manusia itu sangat terbatas, ibarat hanya satu titik debu dibandingkan dengan ilmu Allah.

 

Allah menganugerahkan sebagian ilmu kepada manusia berbeda-beda untuk tiap manusia. Ada yang pandai dan cerdas di bidang ilmu tertentu, tetapi terbatas pada ilmu itu. Ada yang pandai ilmu A, belum tentu pandai ilmu B. Ada yang pandai ilmu B belum tentu juga pandai di ilmu C. Begitu seterusnya. Oleh karena itu, kesempurnaan pada tingkat manusia di bidang ilmu itu ketika ia menyadari kekurangannya dan menghargai kelebihan orang lain. Lalu ilmu yang dimilikinya itu menjadikan satu kekuatan padu dalam implementasi. Artinya, ilmu dan amal adalah kesatuan yang tak boleh dipisahkan. Begitu Islam mengajarkan.

 

Sebuah pepatah Arab mengatakan:

 

الْعِلْ مَ بَِلَََ عََمَ لَ كََال شجَرَِ بََِلَََ ثََمَ رَ

 

“Ilmu tanpa amal, laksana pohon tak berbuah”

 

Oleh karena itu, sebuah kesalahan besar jika manusia yang tidak sempurna dalam ilmu, selalu merasa paling pandai dan paling hebat dibanding orang lain, alias sombong dengan keilmuannya. Tidak ada manusia yang tidak pandai, tetapi yang ada adalah masing-masing pasti memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki orang lain.

 

Seorang yang pandai ilmu hukum, kimia, fisika dan lain-lain belum tentu mengetahui semua ilmu yang meliputinya. Semakin belajar dan belajar maka akan semakin banyak pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui sehingga menjadi pengetahuan baru.

 

Artinya, semakin orang banyak belajar dan membaca ternyata semakin banyak hal yang tidak diketahui sebelumnya. Orang yang banyak belajar (pandai) akan memahami bahwa sebenarnya ia banyak tidak tahu. Dia tahu bahwa sebenarnya dia banyak tidak tahu sehingga terus akan belajar tanpa merendahkan kemampuan orang lain. Itulah ciri-ciri orang yang sebenarnya berilmu.

 

Orang yang berilmu adalah orang yang semakin tunduk dan tawadhu’ kepada Allah SWT yang berada di balik keanekaragaman ciptaan-Nya. Ia ‘menyaksikan’ Allah SWT pada ciptaan-Nya yang banyak. “Syuhûdul wahdah fil-katsrah” (menyaksikan yang Satu pada yang banyak).

 

Ketika ilmu dipahami sebagai kebenaran Tuhan (al-Haqq), maka pemahaman itu akan membawanya kepada ketidak-tahuan. Ia akan dibawa kepada sebuah keadaan dimana dirinya beserta semua yang diketahuinya sebagai ilmu akan hilang.

 

Dirinya sebagai entitas yang fana’, benar-benar disaksikan sebagai kekosongan ketika Ilmu yang dimilikinya disandarkan pada yang Baqa’. Ilmu menjadi sesuatu yang konstan, kekal dan abadi. ‘Ilmu menjadi linier dengan Wujud, dengan Qudrat dan Iradat, dengan Sama’ dan Bashar, dengan Hayat dan Kalam. Kesatuan pandangan akan ilmu dan al-Haqq, jika diperbandingkan dengan hakikat Wujud, maka si pemegang ilmu akan melihat dirinya sirna.

 

Pengetahuan dengan yang mengetahui, pada hakikatnya adalah Wujud Mutlak. Pada taraf ini, maka manusia dan pengetahuannya adalah kekosongan dan ketidak-tahuan. Keadaan ini tidak akan pernah terjadi jika manusia masih menyimpan “biji dzarrah kesombongan” di dalam hatinya.

 

Inilah puncak kesadaran manusia akan ilmu. Semakin tinggi ilmunya, semakin nyata ia melihat dirinya bodoh. Semakin tinggi ilmunya, maka ia akan semakin sadar bahwa dirinya nisbi.

 

Semakin sadar ia lihat dirinya nisbi, maka semakin dekat ia kepada Mansûb (ash-Shamad: Tempat Bersandar, Tempat Bergantung). Puncaknya adalah, Tuhan ber-tajalli pada ke-tawadhu’-an tertinggi hamba-Nya.

 

Itulah Rasulullah SAW. Wallãhu A’lamu bish-Shawãb. Mari kita tutup kajian ini dengan do’a:

 

اَللٰ ه مَ أَََنْتََ رَََب يَْ لََََ إََِلٰهََ إََِ لََ أَََنْتَ، خَََلَقْتَنِيَْ وَََأَنَا عَََبْ دكَ، وَََأَنَا عَََلَى عَََهْدِكََ وَََوَعْدِكََ مَََا اََسْتَطَعْ ت،َََ

 

أَ عوْذَ بََِكََ مََِنَْ شَََ رَ مَََا صَََنَعْ ت، أَََب وْ ءَ لَََكََ بََِنِعْمَتِكََ عَََلَ ي، وَََأَب وْ ءَ بََِذَنْبِيَْ فَََاغْفِرَْ لََِيَْ فَََإِن هَ لَََََ يَََغْفِ رََ

 

الذ ن وْبََ إََِ لََ أَََنْتََ ۞َََ

 

Allãhumma anta rabbî lã ilãha illã anta, khalaqtanî wa anã ‘abduka wa anã ‘alã ‘ahdika wa wa’dika mastatha’tu, a’ûdzu bika min syarri mã shana’tu, abû-u laka bini’matika ‘alayya, wa abû-u bi dzanbî, faghfirlî fa-innahû lã yaghfirudz dzunûba illã anta

 

“Ya Allah Engkau adalah Tuhanku. Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Engkau. Engkau yang menciptakanku, sedang aku adalah hambaMu dan aku di atas ikatan janjiMu dan akan menjalankannya dengan semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakuiMu atas nikmatMu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku padaMu, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni segala dosa kecuali Engkau.”

 

Pekanbaru , 18 April 2023

idulfitri

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *